Salah satu surat kabar terkemuka di Surabaya, terbitan Sabtu 02 Juni 2007, menampilkan berita tentang sengketa agragria di Alastelogo, Pasuruan sebagai headline news. Saya memiliki keyakinan, jauh di lubuk hati para pembaca, sangat mungkin terketuk dengan keharuan yang tiba-tiba menyeruak. Memunculkan banyak tanya dan ketidakmengertian dengan jawaban yang belum tentu kepastiannya.
Suatu peristiwa yang sudah digariskan kejadiannya dengan ketetapan Sang Khalik. Tidak dapat ditolak ataupun dihindari. Sahabatku, dari peristiwa tersebut dapat dipastikan banyak sekali I’tibar yang menunggu untuk dipahami dan dianalisis. Sudikah kita meluangkan waktu untuk sejenak merenungi apa yang sebenarnya tengah terjadi akhir-akhir ini ? Adakah kesempatan kita untuk menengok kembali nurani, mempertanyakan kejadian-kejadian yang ada ? Bila memang tidak ada kesempatan untuk itu, saat ini, tidak mengapa. Karena, suatu saat pasti akan tiba masanya kita dihadapkan pada perenungan hikmah yang menunggu untuk dianalisis.
Kita tentunya tahu, hubungan baik yang terjalin cukup lama, tidak mudah dikacaukan oleh perselisihan yang sangat lumrah ada. Seseorang yang sudah seperti saudara, akan berpikir dua kali sebelum menyakiti saudaranya. Lain lagi ceritanya bila ada faktor lain yang mendominasi. Namun, hubungan baik antara warga Desa Alastelogo dengan prajurit TNI AL (marinir) yang sudah terjalin dapat terkoyak lewat insiden berdarah dalam satu hari. Akibat yang dirasakan dari peristiwa tersebut tidak sedikit menguras tenaga dan pikiran. Tentunya dalam benak kita, melintas tanya tentang penyebab kejadian tersebut. Dalam salah satu artikel, di surat kabar tersebut diatas menuliskan: Dan frustasi serta kekecewaan masal bisa menjadi lahan subur bagi lahirnya kemarahan. Karena itu, pihak-pihak yang bersengketa harus menahan diri dan mencari penyelesaian yang tidak merugikan salah satu pihak. Pemikiran ideal yang dapat saja dijalankan oleh semua orang. Selama kesadaran penuh dimiliki oleh pelaku. Kesadaran tidak hanya pelaku tersebut dapat bernapas tetapi juga kesadaran nurani. Keputusan yang dihasilkan dari pemikiran yang matang, tidak dengan kepala panas diselimuti emosi. Yang juga jangan luput dari perhatian kita adalah kemungkinan hadirnya pihak ketiga yang pandai membaca situasi tersebut kemudian memanfaatkannya.
Ketua PBNU, KH. Hasyim Muzadi bahkan telah menyebut tindakan oknum marinir yang menewaskan 4 warga Desa Alastelogo tersebut adalah tindakan zalim. “Rakyat tewas oleh peluru yang dibeli dari rakyat”, ujar beliau. Membaca pernyataan tersebut, terlintas dalam benak saya, Kemanakah nurani oknum-oknum marinir saat peristiwa itu terjadi ? Tidak mungkin nurani itu hilang. Pasti akan tetap berada di tempatnya. Lalu, apakah nurani mereka telah aus ditempa beratnya latihan-latihan mental yang mereka jalani ? Telah sampaikah nurani mereka ke tahap tidak lagi mengenal belas kasih kepada orang lain ?
Saya jadi merasa iba pada sesuatu yang namanya nurani. Ikon yang sangat mungkin dijadikan kambing hitam dari semua kejadian. Saat ini banyak sekali orang yang mencari nurani untuk menemukan jawaban dari pertanyaan yang bermunculan.
Agaknya imbas pergolakan politik negara Indonesia tercinta ini semakin terasa menyesakkan. Fenomena yang bermunculan mencerminkan kacaunya perekonomian dan perpolitikan negara. Krisis perekonomian yang telah ada, masih diperberat dengan kehadiran krisis kepercayaan dari masyarakat. Keadaan demikian semoga tidak lagi diperberat oleh krisis yang lebih parah, seperti hadirnya krisis nurani. Jangan sampai pada akhirnya nanti, masyarakat kita, baik yang sipil maupun non sipil, jatuh pada keadaan dimana nurani benar-benar dipertanyakan keberadaannya.
Suatu peristiwa yang sudah digariskan kejadiannya dengan ketetapan Sang Khalik. Tidak dapat ditolak ataupun dihindari. Sahabatku, dari peristiwa tersebut dapat dipastikan banyak sekali I’tibar yang menunggu untuk dipahami dan dianalisis. Sudikah kita meluangkan waktu untuk sejenak merenungi apa yang sebenarnya tengah terjadi akhir-akhir ini ? Adakah kesempatan kita untuk menengok kembali nurani, mempertanyakan kejadian-kejadian yang ada ? Bila memang tidak ada kesempatan untuk itu, saat ini, tidak mengapa. Karena, suatu saat pasti akan tiba masanya kita dihadapkan pada perenungan hikmah yang menunggu untuk dianalisis.
Kita tentunya tahu, hubungan baik yang terjalin cukup lama, tidak mudah dikacaukan oleh perselisihan yang sangat lumrah ada. Seseorang yang sudah seperti saudara, akan berpikir dua kali sebelum menyakiti saudaranya. Lain lagi ceritanya bila ada faktor lain yang mendominasi. Namun, hubungan baik antara warga Desa Alastelogo dengan prajurit TNI AL (marinir) yang sudah terjalin dapat terkoyak lewat insiden berdarah dalam satu hari. Akibat yang dirasakan dari peristiwa tersebut tidak sedikit menguras tenaga dan pikiran. Tentunya dalam benak kita, melintas tanya tentang penyebab kejadian tersebut. Dalam salah satu artikel, di surat kabar tersebut diatas menuliskan: Dan frustasi serta kekecewaan masal bisa menjadi lahan subur bagi lahirnya kemarahan. Karena itu, pihak-pihak yang bersengketa harus menahan diri dan mencari penyelesaian yang tidak merugikan salah satu pihak. Pemikiran ideal yang dapat saja dijalankan oleh semua orang. Selama kesadaran penuh dimiliki oleh pelaku. Kesadaran tidak hanya pelaku tersebut dapat bernapas tetapi juga kesadaran nurani. Keputusan yang dihasilkan dari pemikiran yang matang, tidak dengan kepala panas diselimuti emosi. Yang juga jangan luput dari perhatian kita adalah kemungkinan hadirnya pihak ketiga yang pandai membaca situasi tersebut kemudian memanfaatkannya.
Ketua PBNU, KH. Hasyim Muzadi bahkan telah menyebut tindakan oknum marinir yang menewaskan 4 warga Desa Alastelogo tersebut adalah tindakan zalim. “Rakyat tewas oleh peluru yang dibeli dari rakyat”, ujar beliau. Membaca pernyataan tersebut, terlintas dalam benak saya, Kemanakah nurani oknum-oknum marinir saat peristiwa itu terjadi ? Tidak mungkin nurani itu hilang. Pasti akan tetap berada di tempatnya. Lalu, apakah nurani mereka telah aus ditempa beratnya latihan-latihan mental yang mereka jalani ? Telah sampaikah nurani mereka ke tahap tidak lagi mengenal belas kasih kepada orang lain ?
Saya jadi merasa iba pada sesuatu yang namanya nurani. Ikon yang sangat mungkin dijadikan kambing hitam dari semua kejadian. Saat ini banyak sekali orang yang mencari nurani untuk menemukan jawaban dari pertanyaan yang bermunculan.
Agaknya imbas pergolakan politik negara Indonesia tercinta ini semakin terasa menyesakkan. Fenomena yang bermunculan mencerminkan kacaunya perekonomian dan perpolitikan negara. Krisis perekonomian yang telah ada, masih diperberat dengan kehadiran krisis kepercayaan dari masyarakat. Keadaan demikian semoga tidak lagi diperberat oleh krisis yang lebih parah, seperti hadirnya krisis nurani. Jangan sampai pada akhirnya nanti, masyarakat kita, baik yang sipil maupun non sipil, jatuh pada keadaan dimana nurani benar-benar dipertanyakan keberadaannya.
0 komentar:
Post a Comment